Koran Cirebon. Kebutuhan dasar akan sandang, pangan, dan papan sungguh harus terpenuhi dengan baik. Salah satu saja tidak terpenuhi, bisa mengakibatkan keresahan, atau bahkan berujung kematian. Maka, wajar masyarakat menuntut pemerintah untuk mendapatkan haknya, terutama dalam hal pangan, salah satunya gabah yang akan menghasilkan beras.
Kini harga gabah kering di beberapa daerah Indonesia cukuplah tinggi. Salah satunya di daerah Kabupaten Indramayu mencapai Rp 7.500/kg. Ini diakibatkan musim paceklik yang mempengaruhi ketersediaan barang. Walhasil rakyat merasa khawatir, jika pemerintah melakukan impor beras secara besar-besaran. Apalagi musim panen raya akan segera tiba, sekitar akhir bulan Februari hingga Maret 2023.
Terkait hal tersebut, Plt. Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Indramayu, Muhammad Iqbal berpendapat bahwa stok beras untuk rakyat masih sangat cukup untuk memasok pasar dan memenuhi kebutuhan konsumsi pangan sampai bulan Maret 2023. Sehingga, dipastikan Indramayu tidak membutuhkan beras impor, karena akan berupaya mempertahankan produksi beras di daerahnya. (Mandalapos.co.id, 25/1/2023).
Nyatanya, impor beras pun terjadi, karena cadangan beras pemerintah sudah menipis. Disampaikan oleh Direktur Utama Perusahaan Umum Badan Usaha Logistik (Perum Bulog), Budi Waseso bahwasannya stok hanya 428.000 ton saja, sedangkan kebutuhan nasional mencapai 500.000 ton. Walhasil ditargetkan sampai akhir Februari sudah tiba beras dari Vietnam, sehingga seluruhnya mencapai 700.000 ton. Akan aman sebelum panen raya. (Bisnis.com, 24/2/2023).
Tentu hal ini membuat rakyat gigit jari. Panen raya yang akan berlangsung, tetapi pemerintah malahan impor beras besar-besaran. Disamping harga beras yang mahal, sejalan dengan harga gabah kering yang mahal pula, menjadikan para petani kebingungan. Keberadaan impor menjadikan harga gabah di pasar akan tertekan.
*Impor bukan Solusi*
Gejolak harga beras dan kebijakan impor tidak lepas dari kebijakan pemerintah. Mulai dari aspek pengelolaan hingga distribusi. Semua itu dilaksanakan oleh lembaga pemerintahan yang dinamakan Bulog. Bulog nantinya akan menyalurkan beras ke rakyat yang membutuhkan setiap bulannya. Permasalahannya, semenjak ada subsidi dalam bentuk uang, stok beras di Bulog pun menumpuk, dan tidak jelas penyalurannya kemana. Sementara Bulog harus tetap menyerap beras dari para petani. Walhasil, beras di Bulog mengalami surplus dan kondisinya sudah jelek.
Di sisi lain, pemerintah membuka kran pasar bebas di berbagai lini. Seperti masuknya para pebisnis mulai dari sisi produksi hingga distribusi membuat kondisi pasokan beras kian kompetitif. Tak hanya itu, kebijakan impor beras menjadikan beras di Bulog semakin tak tersalurkan, hanya dengan dalih stabilisasi harga. Sehingga, impor beras adalah kebijakan yang tampak rasional, padahal merugikan Bulog, dan rakyat secara tidak langsung.
Sesungguhnya, adanya impor bukanlah solusi dalam memenuhi stok beras dalam negeri. Karena Indonesia terkenal dengan negara agraris, yang artinya perekonomiannya bergantung pada sektor pertanian secara garis besar. Seharusnya, kebutuhan akan beras pun sudah terpenuhi secara maksimal, tak perlu adanya impor, yang akhirnya berdampak pada ketidak sejahteraan para petani.
Belum lagi akibat impor beras, para pedagag besar yang notebene pengusaha telah mendistorsi harga beras lokal. Dimana mereka bebas menjual harga berapapun tanpa batasan. Sedangkan petani semakin gigit jari, sebab berasnya dihargai sangat murah. Oleh karenanya, badai impor yang pemerintah sebut sebagai upaya untuk menstabilkan harga, tetapi malahan mempermainkan harga yang dilakukan para pengusaha. Akibatnya, masyarakat pun meradang dengan harga beras yang terus bergejolak.
Maka, penguasa yang seharusnya mengupayakan kebutuhan rakyat, tetapi yang ada malahan berbisnis dengan para pengusaha besar atau menghasilkan produk komersil untuk mendapatkan untung. Inilah diakibatkan kebatilan paradigma, tata kelola, dan distribusi. Tata kelola pangan dan pertanian yang dijalankan di negeri ini lahir dari sistem kehidupan sekuler kapitalisme.
Adapun paradigmanya pun telah mengaburkan visi politik pangan. Pangan tidak lagi dikelola untuk menyejahterakan rakyat dan menjamin kedaulatan pangan, bahkan tanggung jawabnya pun sudah lepas dari negara. Kehadiran negara (penguasa) hanya sekadar sebagai regulator dan fasilitator, yakni pelayan korporasi, bukan penanggung jawab dan pengurus rakyat.
*Jaminan Pangan dalam Islam*
Ketersediaan pangan menjadi kewajiban penguasa yang harus dipenuhi bagi seluruh rakyatnya. Dalam Islam, pangan terkategori politik dalam negeri, yaitu terurusinya akan lahan pertanian. Maka dari itu, kebutuhan mendasar (sandang, pangan, papan) wajib disiapkan oleh penguasa, bahkan pendidikan, kesehatan, dan keamanan bagi semua rakyat tanpa terkecuali, baik muslim maupun nonmuslim. Tidak ada perbedaan di dalamnya.
Maka, aturan Islam akan mengatur pengelolaan ketersediaan pangan, berupa beras, dan sebagainya yang disesuaikan dengan sistem politik ekonomi Islam. Pertama, menjamin pasokan beras terpenuhi, maka negara akan memastikan semua lahan pertanian atau sawah benar-benar tergarap maksimal. Caranya dengan menerapkan tiga mekanisme, yaitu menghidupkan tanah mati, kewajiban mengelola tanah oleh pemiliknya, serta larangan untuk menyewakan lahan pertanian.
Kedua, terkait lahan sawah yang telah beralih fungsi, negara akan berupaya mengembalikannya kepada fungsi utamanya. Ini karena tanggung jawab yang melekat pada kepemilikan tanah dan pengelolaannya adalah harus memperhatikan produksi pertanian.
Ketiga, optimalisasi pengelolaan tanah, maka penguasa akan mendukung para petani dengan penyediaan alat, mesin, dan sarana pertanian dengan mudah dan harga terjangkau. Dilakukan secara merata ke seluruh wilayah.
Keempat, terkait aspek distribusi, negara akan mengangkat qodi hisbah yang akan melakukan pengawasan kepada para penjual dan pembeli agar terwujud sistem distribusi dan pembentukan harga wajar. Negara juga melarang dan mencegah terjadinya penimbunan, melarang riba, melarang praktik tengkulak, kartel.
Kelima, akan membentuk lembaga pangan khusus untuk menjaga cadangan pangan negara. Namun lembaga ini harus berjalan sesuai fungsi negara, yaitu sebagai pelayan dan pelindung rakyat, bukan sebagai unit bisnis. Oleh karenanya, anggaran lembaga ini akan didukung penuh oleh baitulmal.
Inilah aturan Islam yang hadir untuk menyejahterakan rakyatnya, bukan menyusahkan. Sebab, semua dilakukan berdasarkan ketaatan kepada Allah SWT. Wallahu'alam bishshawab.
Penulis : Citra Salsabila, (Pegiat Literasi)Kuningan, Jawa Barat.
(Red)
Post A Comment: