Sesuai Pergub No 132/2018, pengembang wajib menyerahkan kelola apartemen ke penghuni. Kasus terjadi ketika ada sebagian penghuni bayar iuran bulanan ke pengelola baru (penghuni) sebelum serah terima jabatan. Pengelola lama (pengembang) marah, lalu matikan lampu dan listrik.
Anda bayangkan jika di rumah anda tak ada listrik dan air. Pasti kacau. Karena hidup kita sangat bergantung pada air dan listrik. Itulah yang terjadi di apartemen tersebut.
Penghuni tak bisa melawan pengelola lama dengan semua kekuatan yang dimiliki oleh pengembang. Warga melaporkan situasi ini kepada Anies sebagai pemimpin mereka.
Anies terima laporan itu. Cek lapangan, ternyata benar. Anies segara telp CEO perusahaan yang jadi pengembang apartemen tersebut. Kepada CEO itu Anies bilang: "bahwa air dan listrik ibarat udara bagi warga apartemen. Kalau anda matikan, anda sama saja membunuh mereka. Jika anda tidak hidupkan sekarang, saya akan matikan seluruh ijin usaha anda di Jakarta." Karena takut, listrik dan air pun dihidupkan kembali.
Kok media gak dengar ya? Kenapa Anies gak panggil wartawan, baru telp CEO itu? Mengapa timnya gak buat video atau meme? ini kan keren buat branding. Apalagi pilgub 2022 (jika ada) sudah dekat? Bisa juga untuk pilpres 2024. Begitulah pertanyaan publik di tengah umumnya para pemimpin kita yang sedang mabuk pencitraan di era pencitraan.
Anies tidak lakukan itu. Dan mestinya tidak ikut-ikutan latah melakukan pencitraan sebagaimana yang lazim terjadi saat ini. Yang dibutuhkan dari seorang pemimpin bukan pencitraan. Yang dibutuhkan dari seorang pemimpin selain kemampuan kerja adalah rasa cinta dan ketulusan. Cinta dari hati akan sampai ke hati. Pemimpin yang ingin dicintai rakyatnya mesti bekerja dengan hati dan rasa cinta.
Sejak terbit pergub nomor 132/2018, di apartemen mulai ramai, ribut dan gaduh. Kenapa? Karena uang puluhan hingga ratusan miliar yang selama ini mengalir perbulan ke kantong pengembang terancam berhenti.
Pengembang diam? Tidak! Berbagai manuver pun dilakukan. Mulai manipulasi data penghuni hingga intimidasi. Sogok oknum dinas? Itu sudah jadi habit mereka. Dari dulu kala dan turun temurun.
Jalur belakang ditempuh. Pengembang kirim sejumlah utusan ke gubernur Anies. Apa kata Anies? "Maaf, pintu belakang tertutup. Silahkan lewat pintu depan dan ikuti prosedur serta aturan yang ada".
Kalau saja Anies tak mengeluarkan Pergub 132/2018 itu, diam saja dan mau terima setoran, akan cepat kaya. Sebulan 1-2 miliar saja dari setiap apartemen di Jakarta, berapa pendapatan Anies? Gak akan dipantau KPK. Karena tak terkait dengan kebijakan apapun. Cuma diam saja, ratusan miliar per bulan. Enak bukan?
Ngapain buat pergub segala? Integritas! Ini alasannya. Seorang pemimpin harus memikirkan nasib warganya. Tidak sibuk branding dan mengumpulkan logistik untuk periode berikutnya. Sampai disini, langkah dan tindakan Anies patut diapresiasi. Pemimpin model begini sudah mulai langka di Indonesia.
Sikap Anies ini mengingatkan kita pada kasus reklamasi. Sebelum pilgub putaran pertama, ada kabar tak sedap. Anies ditawari dana kampanye. Jumlah angkanya wow. Jauh di atas anggaran lem aibon. Syaratnya? Jangan hentikan reklamasi jika terpilih.
Anies tolak? Ya! Bahkan dengan tegas. Padahal saat itu, Anies dan tim lagi benar-benar butuh dana kampanye. Menolak tawaran saat kita lagi butuh, tentu butuh kekuatan dan ukuran moral tersendiri. Gak mudah! Dan Anies bisa lakukan itu.
Jika anda benar-benar ingin menguji integritas seseorang, suaplah orang itu saat lagi kepepet atau bener-bener butuh uang. Dari situ anda akan tahu kualitas moral dan ukuran integritas seseorang.
Pasca penyegelan pulau reklamasi, suap dilipatgandakan. Tidak lagi puluhan miliar, tapi puluhan triliun. Kabar ini sudah terbuka untuk umum. Anies pun tetap menolaknya. Sekali menolak, tetap menolak. Tampaknya, Anies menutup semua pintu suap.
Serius 2024 nyapres gak sih Nis? Kok semuanya ditolak? Gerutu sejumlah pendukungnya. Jika dicermati, Anies nampaknya ingin dicatat sejarah sebagai gubernur yang tidak saja bisa bekerja dengan baik, tapi juga bersih dan berintegritas. Secara implisit hal ini bisa dibaca dari narasi dalam beberapa pidato Anies.
Untuk membuktikan mengenai hal ini, siapapun kita perlu mengujinya. Caranya? Pertama, cari data terkait korupsi Anies. Gak usah buat gaduh, tapi laporkan saja ke polisi atau KPK. Kalau cuma buat gaduh, itu akan dinilai publik sebagai tindakan cari popularitas. Publik akan menuduh gak "move on". Atau ada agenda setting.
Kedua, silahkan coba suap Anies. Lakukan dengan berbagai cara, terutama saat Anies kepepet. Lagi butuh duit.
Ketiga, cek rekening Anies dan keluarganya. Apakah ada kenaikan jumlah kekayaan yang tak wajar dan aneh. Tidak saja Anies, tapi lihat pula orang-orang dekat yang berada di lingkaran Anies. Apakah ada perubahan ekonomi dan gaya hidupnya?
Dari sini kita akan dapat mengukur integritas Anies. Dan dari sini pula kita bisa menilai lebih jujur dan obyektif terkait pantas tidaknya Anies didorong untuk menjadi pemimpin Indonesia kedepan. Sebab, rakyat butuh pemimpin yang tidak saja punya kapasitas, tapi juga ketegasan dan integritas. Seorang pemimpin yang bekerja dengan hati, bukan dengan angka-angka dalam transaksi. Ini yang sedang langka dan tak mudah untuk mendapatkannya di negeri ini.Jakarta, 18/11/2019. Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa (Fery)
Post A Comment: