Aroma adu domba dan provokasi mudah sekali kita temui dalam setiap sudut kehidupan berbangsa. Entah semua ini dipahami atau sebenarnya paham tapi sikap kepura-pura tidaktahuan terus dijalankan demi orientasi pribadi dan sikap ingin menang sendiri.
Jika kita tarik titik perspektif kita menjauh dari pusaran kegamangan ini, barangkali nurani dan rasio kita akan bekerja lebih baik dibanding berada di dalam pusaran.
Anggaplah kita sekarang juga pura-pura tidak tahu dan tidak mengerti persoalan yang terjadi di bangsa ini, tentunya dengan akal sehat dan kedewasaan, kita akan melihat betapa keroposnya bangsa dan negara ini yang di peta dunia terlihat besar, indah, unik dan berwibawa dengan koordinat berada pada cross roads benua dan samudera dunia.
Sikap kekanak-kanakanlah yang terlihat pada format perilaku bangsa yang semakin hari semakin menjadi, dan semakin tidak ada perbedaan integritas pada semua layer, baik layer ekonomi, sosial dan intelektual. Hampir semua layer dikuasai oleh angkara dan ambisi tidak saja pada kelompok elit yang berebut posisi, pada kelompok akar rumputpun masih memiliki ambisi beropini untuk menang sendiri.
Bangsa ini benar-benar sudah hilang kendali. Kendali kolektif bangsa tentunya merupakan proyeksi kendali pribadi yang bersifat kolektif dari setiap individu yang mengaku memiliki bangsa dan negara ini. Apa yang tampil di permukaan dan menjadi opini publik bahkan menjadi suguhan bagi dunia Internasional adalah cerminan sikap bangsa ini sendiri. Jadi jangan pernah menyalahkan siapa-siapa atau pihak manapun juga, jika bangsa ini mempunyai citra yang tampil secara negatif di permukaan, adalah representasi anak bangsa yang ada di dalamnya.
Bangsa ini mudah sekali terprovokasi dan tersulut berbagai pengaruh yang belum bisa dijamin validitasnya. Setiap ujaran dianggap sebuah kebenaran tanpa diperiksa dahulu sumber dan keabsahannya. Eforia teknologi informasi yang terjadi melalui medsos dan grup aplikasi chat membuat sikap merasa paling tahu, paling dulu dan paling benar dalam menyampaikan informasi. Jari lebih cepat bekerja dibanding rasio dan rasa yang sudah Tuhan anugerahkan kepada kita agar kita beraktivitas secara cerdas, bijak dan santun.
Banyak waktu dan pikiran kita yang terbuang demi melayani sang Angkara yang tak puas-puasnya meminta dituruti keinginannya dalam membangun situasi yang panas serta penuh konflik. Padahal yang sedang berkonflik ini adalah sama sama anak bangsa yang hidup di pangkuan ibu Pertiwi yang sama. Reptisi sikap dan tindakan jauh dari nalar dan nurani terus berulang tanpa jeda. Semakin rasa menang atas perdebatan yang juga debat kusir dan mengambang, semakin senang dan merasa di awang-awang atas sanjungan rekan sepandangan.
Kita lupa pada hal utama yang harus kita pikirkan jauh ke depan, yaitu nasib bangsa ini, dan menjaga integritas anak bangsa yang seharusnya merasa resah karena bangsa ini semakin jauh dari identitas bangsa dan karakternya. Bangsa yang besar dan maju adalah bangsa yang berkarakter dan mempunyai identitas yang kuat. Kita sekarang sudah memasuki ketidakjelasan dalam karakter dan identitasnya. Menilik pada pola seperti ini masyarakat mudah sekali diigiring dalam berbagai format bentukan para aktor yang mempunyai berbagai kepentingan baik dari dalam dan luar negeri. Ujung-ujungnya tak lain dan tak bukan adalah faktor ekonomi. Bangsa ini tidak mengenal potensinya sendiri. Lupakan migas dan sumber daya yang sifatnya Unrenewable dan akan habis dalam waktu yang tidak lama lagi, sumber daya yang renewable pun masih banyak bisa diolah dan menjadi potensi luar biasa bagi bangsa ini.
Bangsa asing melihat Indonesia sangat seksi. Letak Indonesia di garis ekuatorpun sudah merupakan kode yang bisa dipahami oleh orang yang paling bodoh sekalipun, apalagi Indonesia terletak pada posisi yang terlintasi Ring of Fire. Apakah kita akan membiarkan itu semua? Sementara para aktor khususnya aktor asing yang sudah bergerak secara intelejen melalui Psychopolitics nya membuat bangsa ini benci pada pimpinan dan para elitnya, menganggap oposisi musuh yang seharusnya oposisi memberi kritik dan masukan agar terjadi pertimbangan dalam sistem kenegaraan yang menghasilkan kebijakan, provokasi yang menyulut konflik SARA, dan masih banyak lagi segudang jurus dalam melunpuhkan soliditas bangsa ini dalam bentuk Assymetric Warfare atau Perang Asimetris.
Kini secara perlahan kerja demokrasi yang berjalan hampir setahun ini sudah mendekati fnal. Sebagai anak bangsa dan warga neagara Indonesia, mengoreksi yang dirasa tidak sejalan atau terjadi ketimpangan dalam sistem ketatanegaraan merupakan hak setiap warga negara, yang tentunya harus dilaksanakan secara proporsional. Asas bangsa kita yang selalu mengajarkan musawarah harus kita hidupkan lagi secara bersama-sama, karena ego tidak akan menyelesaikan masalah. Tanggung jawab kita bersama juga dalam membangun karakter bangsa yang sumbernya tidak lain adalah Pancasila, yang harus kita implementasikan dalam kehidupan berbangsa kita. Jangan sampai Pancasila menjadi kata tanpa makna.
Pancasila sudah terbukti adalah ideologi yang sangat tepat dalam kehidupan berbangsa kita, karena berbagai kearifan lokal dari masing-masing daerah di hamparan negeri Nusantara ini sangat sesuai dengan setiap butirnya. Kejadian yang berujung pada konflik dan tak sedikit membawa korban nyawa anak bangsa adalah sikap-sikap yang sangat jauh dari Ideologi bangsa ini. Pikiran yang pendek dan emosi yang mudah sekali tersulut kemudian meladak, tidak ubahnya seperti binatang yang tidak memiliki perimbangan antara rasio dan rasa. Bangsa kita bukan bangsa biadab, sejarah menunjukkan bahwa Kearifan lokal kita mengajarkan agar kita menjadi pribadi yang bersahaja dan membumi, serta mempunyai toleransi dan tenggang rasa yang tinggi.
Apapun masalah yang terjadi pada bangsa ini adalah tugas kita bersama untuk memberi solusi, sesuai dengan kemampuan dan kapasitas kita masing-masing. Hal yang paling sederhana adalah membangun situasi yang kondusif, nyaman, aman dan terkendali sesuai fakta yang ada. Sekali lagi kita harus ingat bahwa musuh kita bukan saudara-saudara kita yang mempunyai perbedaan orientasi politik. Ada yang lebih besar dan lebih sulit dalam memetakannya, yaitu para aktor yang ingin mengambil keuntungan dari bangsa kita yang kaya raya ini. Mari kita perkuat barisan kebangsaan kita dengan rasa saling asah, saling asih, saling asuh dan saling mengharumkan satu sama lainnya, kembali mempelajari dan menghayati kearifan lokal daerah kita masing-masing, dan yang terpenting adalah menanamkan, menghayati serta mengimplementasikan Pancasila dalam kehidupan keseharian kita sebagai Ideologi yang tidak akan pernah tergantikan sampai kapanpun juga. (Fery)
Post A Comment: